Oktober 2016


Definisi TKI atau kepanjangan dari tenaga kerja Indonesia, menurut Undang-Undang Nomor 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri, dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah.

Ilustrasi


Merujuk pada UU No. 39/2004 di atas, maka yang disebut TKI adalah siapa pun ia yang berkewarganegaraan Indonesia tapi sedang dalam masa kerja di luar negeri. Tidak seperti bayangan masyarakat umum, bahwa TKI hanyalah ia yang bekerja pada jenis pekerjaan kasar, seperti pekerja rumah tangga, buruh pabrik, dan lainnya.

Karena jenis pekerjaan TKI, terbagi dalam dua kelompok. Yaitu profesional dan non profesional. Contoh jenis pekerjaan profesional seperti: dosen, manajer, dokter, perawat. Sedang jenis pekerjaan non profesional seperti pekerja rumah tangga, supir, buruh pabrik dan lain-lain.

Adapun istilah BMI/PMI (kepanjangan dari buruh migran Indonesia dan pekerja migran Indonesia), mulai muncul di kalangan organisasi BMI/PMI sekitar tahun 2008.

Terus kenapa disebut BMI/PMI (Buruh Migran Indonesia/Pekerja Migran Indonesia)? Karena frasa “Buruh” artinya lebih luas dibanding tenaga kerja. Labour atau buruh, menurut kamus bahasa Inggris, menunjuk pada angkatan kerja atau setiap orang yang mampu bekerja dan termasuk dalam masa produktif, misal berumur 19 tahun sampai 65 tahun. Karena angkatan kerja, maka ia meliputi siapapun yang dalam masa produktif, terlepas dari mempunyai pekerjaan atau tidak. Sedangkan frasa “Tenaga Kerja” adalah menunjuk pada orang-orang yang mempunyai pekerjaan.

Antara Tenaga Kerja dengan Buruh memiliki kesamaan substantif, yakni sama-sama tidak memiliki  alat  produksi beserta kontrol kapitalnya, dengan kata lain ia mendayagunakan fisik dan otak untuk pemilik kapital dan hierarkhis di atasnya, lantas menerima imbal balik berupa upah/gaji.

Lalu frasa “Migran” sendiri, adalah orang yang melakukan migrasi atau berpindah tempat dari negara asalnya, biasanya untuk mencari pekerjaan. Karena menyebut sebagai BMI/PMI, maka buruh migran atau pekerja migran Indonesia yang di luar negeri, berhak diakui statusnya serta mendapat perlindungan hukum sebagai pekerja/buruh, juga sebagai migran.

Sebagai tambahan informasi, untuk contoh di Hong Kong, media massa dan pemerintahannya masih menggunakan frasa “Pembantu Rumah Tangga Luar Negeri” atau Foreign Domestic Helper, untuk menyebut pekerja rumah tangga luar negeri.

Karena hanya disebut pembantu, maka ia tidak mendapatkan seluruh hak sebagai pekerja/worker. Seperti jam kerja yang tidak diatur, kewajiban untuk tinggal seatap dengan majikan, upah minimum yang tidak memadai dan hak-hak pekerja lainnya.

ILO (International Labour Organization) sebagai badan dunia di bawah United Nations (Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang menangani masalah perburuhan, menggunakan sebutan Pekerja Rumah Tangga Migran atau Migrant Domestic Worker, untuk menunjuk pada buruh migran sektor domestik yang bermigrasi.

Jadi, mulai sekarang, mari biasakan diri kita untuk tidak lagi menyebut TKI. Namun menyebutnya sebagai BMI/PMI. Untuk mendorong pemerintah Indonesia beserta pemerintah negara penempatan, supaya memberikan hak-hak dan perlindungan sebagai pekerja, juga sebagai seorang migran. (Yuliati)



(Purwokerto) Paguyuban Bumi Gumelar, digandeng oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang bekerjasama dengan Fakultas Ekonomi & Bisnis (FEB) Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), serta Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Unsoed, mengadakan seminar dengan tema Literasi Keuangan bagi UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) serta Buruh Migran (TKI) dan Keluarganya.

Yuli (BUMI Gumelar) saat menyampaikan materi

Acara diselenggarakan di Gedung Roedhiro, FEB Unsoed, pada 3 Oktober 2016 kemarin. Tema seminar yang menyoroti perilaku literasi keuangan para pelaku UMKM, buruh migran dan keluarganya, mampu menarik minat sekitar 300 peserta untuk hadir (dari kalangan umum, dosen, mahasiswa, aktivis, purna buruh migran beserta keluarganya) dan menyimak materi-materi yang dibawakan pembicara sampai selesai.

Dengan menghadirkan para praktisi dan akademisi di bidangnya masing-masing, seperti; Prof. Dr. Suliyanto, M.M., sebagai pakar UMKM Unsoed, lalu Dr. Tyas Retno Wulan, M.Si., sebagai ketua Pusat Penelitian Gender, Anak dan Pelayanan Masyarakat (PPGAPM) LPPM Unsoed, Zulkifli S.E. dari OJK, serta Yuliati; seorang purna buruh migran (BMI/TKI) dari Paguyuban Bumi Gumelar.

Sosialisasi dan edukasi tentang Literasi Keuangan sendiri, merupakan program resmi dari OJK, sebagai lembaga negara yang berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan terintegrasi, terhadap keseluruhan kegiatan dalam sektor jasa keuangan; baik perbankan atau pasar modal.

Program resmi literasi keuangan untuk masyarakat dari OJK, tertuang dalam Surat Edaran OJK No. 1/SEOJK 07/2014 tentang Strategi Nasional Literasi Keuangan Indonesia (SNLKI).

Para pemantik diskusi menyoroti perilaku pengelolaan keuangan masyarakat. Seperti Prof. Suliyanto yang menyoroti pelaku UMKM di wilayah Banyumas. Bagaimana para pelaku UMKM ini masih banyak yang menggunakan metode tradisional dalam memproduksi dan memasarkan produknya. Selain itu, para pelaku UMKM ini juga tidak mengetahui soal literasi keuangan yang baik. Kebanyakan hanya berpijak pada prinsip memenuhi kebutuhan hidup hari ini, untuk hari esok ya dipikir besok.

Sedang Dr. Tyas Retno Wulan, memberikan gambaran tentang purna BMI/TKI yang sukses sekembalinya di kampung. Ada yang berhasil menginvestasikan hasil merantaunya ke dalam usaha warung makan, peternakan dan pertanian.

Lalu Yuliati, sebagai perwakilan Paguyuban Bumi Gumelar, yang juga seorang purna BMI/TKI, berbagi pengalamannya pribadi serta pengalaman kawan-kawan BMI/TKI lainnya, yang terkait dengan tema diskusi.

Mengusung judul Problematika Pengelolaan Keuangan BMI/TKI dan Keluarganya, ia menjabarkan poin-poin penting yang berpengaruh pada perilaku pengelolaan keuangan BMI. Di antaranya adalah:
  1. Kewajiban membayar biaya penempatan yang ditanggung BMI/TKI dan biasanya diambil melalui sistem potongan gaji. Biaya penempatan ini meliputi biaya training/pelatihan kerja dan bahasa, pembuatan dokumen, biaya agensi dan PJTKI.
  2. Perubahan gaya hidup ketika bekerja di negara penempatan. Di mana hal ini bisa disebabkan karena budaya yang berbeda.
  3. Tidak adanya skala prioritas. Jadi BMI/TKI tidak membuat skala prioritas, terkait kebutuhan mana yang harus diutamakan terlebih dahulu. Apakah memenuhi kebutuhan sehari-hari, membeli kendaraan, membiayai pendidikan, menabung atau berinvestasi, misalnya. Kebanyakan BMI/TKI tidak bisa mendahulukan kebutuhan mana yang harus diutamakan, mana yang boleh dikesampingkan.
  4. Tidak adanya koordinasi dengan keluarga di rumah. Jadi BMI/TKI hanya mengirim uang tiap bulan tapi tidak berkoordinasi dengan keluarga yang menerima kiriman, tentang peng-alokasian hasil kiriman tersebut. Maka banyak kasus di mana BMI/TKI pulang ke kampung tanpa punya tabungan apapun di rumah.
  5. Tradisi mencatat. Ini merupakan problema setiap orang sebenarnya, bukan hanya BMI/TKI. Karena masyarakat Indonesia sendiri banyak yang merasa ribet dan malas untuk mencatat. Apalagi mencatat pengeluaran tiap hari.

Pembicara terakhir dari OJK; Zulkifli S.E., menjawab problema-problema yang diajukan para pemantik dan peserta diskusi. Seperti soal biaya penempatan BMI/TKI, KUR untuk TKI, KUR untuk pelaku UMKM, model investasi yang cocok untuk mahasiswa dan lainnya.

Dalam acara itu, pihak OJK dan Unsoed juga menandatangani nota kesepahaman atau MoU, dalam rangka pendidikan, penelitian, dan pengabdian.

Nota kesepahaman, ditandatangani oleh rektor Unsoed; Dr. Ir. Achmad Iqbal M.Si., dengan kepala OJK; Farid Faletehan S.T., M.M. Diharapkan dari acara tersebut, menjadi awal untuk pembinaan soal literasi keuangan BMI/TKI, dan masyarakat. (Bastyo)



(Gumelar). Pada tanggal 22 September 2016, bertempat di Balai Desa Gumelar, Paguyuban Bumi Gumelar bekerja sama dengan Infest Yogyakarta, pemerintah desa dan pemerintah Kecamatan Gumelar, mengadakan kegiatan “Rembug Pemetaan Kewenangan Desa dalam Perlindungan Buruh Migran”. 


Suasana Diskusi 

Acara yang dihadiri oleh perangkat desa dari desa-desa yang ada di Kecamatan Gumelar, serta beberapa purna buruh migran, berlangsung lancar dan penuh keakraban. Masing-masing peserta tampak antusias memetakan dan mengidentifikasi perihal kewenangan desa, sesuai amanat yang tertuang dalam Undang-Undang Desa Nomor 6 tahun 2014.

Sebagai informasi, dari 27 kecamatan yang ada di Kabupaten Banyumas, Kecamatan Gumelar menduduki urutan teratas dalam hal penempatan Buruh Migran (TKI). Sedang Banyumas sendiri, menurut data terbaru dari BNP2TKI (Badan Penempatan dan Perlindungan TKI) pada medio Agustus 2016, naik 5 peringkat, ke nomor 17 dari sebelumnya peringkat 22, kabupaten pengirim BMI terbanyak se-Indonesia. Dalam kata lain, desa-desa yang ada di Kecamatan Gumelar adalah desa-desa basis buruh migran.

Mengawali acara, fasilitator mengajak desa-desa untuk merefleksikan kondisi desa masing-masing sebagai desa basis buruh migran/BMI. Dengan bermacam persoalan yang acapkali dihadapi oleh desa. Seperti minimnya lapangan pekerjaan, tren bekerja di luar negeri yang menjadi pilihan utama warga dibanding bekerja di desa sendiri, keterbatasan akses informasi, hingga permasalahan-permasalahan prosedur penempatan.

Namun dengan kewenangan yang saat ini dimiliki oleh desa, seharusnya bisa menjawab beragam tantangan yang dihadapi. Karena itu, pemetaan kewenangan perlu dilakukan agar desa memiliki landasan kuat dalam menjalankan roda pemerintahan, merencanakan pembangunan, melakukan pembinaan masyarakat serta pemberdayaan masyarakat, dengan tantangan sebagai desa basis buruh migran.

Selama ini, kebanyakan desa-desa di Indonesia masih berorientasi pada pembangunan aset fisik atau hanya “mempercantik penampilan”. Dengan mengesampingkan makna sejati pembangunan itu sendiri.

Padahal, pembangunan kapasitas sumber daya manusia, budaya, ekonomi masyarakat serta pembangunan non-fisik lainnya, adalah motor penggerak kemajuan pembangunan.

Untuk lebih memudahkan proses pemahaman identifikasi dan pemetaan kewenangan desa, pada kegiatan ini, fasilitator mengajak peserta melakukan simulasi menggunakan alat peraga. Simulasi difokuskan pada empat bidang kewenangan skala lokal desa dan mendiskusikannya satu-persatu.

Kader Bumi Gumelar sebagai bagian dari masyarakat desa, memberikan gagasan yang memperkaya kewenangan desa. Beberapa gagasannya seperti, pendataan warga desa yang bekerja menjadi buruh migran, pelayanan informasi ketenagakerjaan dan migrasi oleh desa, pembentukan kelompok pendamping anak buruh migran, pembuatan peraturan desa tentang perlindungan buruh migran, pembuatan SOP (Standard Operational Procedures/ Standar Operasional dan Prosedur) pelayanan publik, serta pemberdayaan ekonomi purna buruh migran.

Dari proses diskusi pemetaan kewenangan desa ini, diharapkan desa-desa bisa lebih memahami tentang kewenangan desa, untuk menjawab beragam tantangan yang selama ini dihadapi oleh desa.

Namun terkait dengan kewenangan desa untuk membuat peraturan desa (Perdes) tentang perlindungan buruh migran, desa-desa menganggap hal tersebut masih sulit dilakukan. Jabatan politis kepala desa, yang membuat kepala desa takut dianggap “menyusahkan” warganya yang mau bekerja menjadi buruh migran. Padahal, perdes perlindungan buruh migran sejatinya untuk melindungi kepentingan buruh migran itu sendiri.

Persoalan ini kemudian dijawab oleh fasilitator, dengan memberikan pemahaman pada desa terkait perencanaan pembangunan yang partisipatif melibatkan masyarakat. Dengan perencanaan partisipatif, gagasan tentang Perdes perlindungan buruh migran tidak harus lahir dari gagasan pemerintah desa, tapi gagasan ini bisa lahir dari usulan masyarakat yang diakomodir oleh desa.

Pada akhir kegiatan, peserta membuat rencana tindak lanjut yang akan dilakukan oleh masing-masing desa, diantaranya akan membentuk tim pemetaan kewenangan desa, melakukan identifikasi kewenangan dan membahasnya dalam musyawarah desa, dan menyusun draft Perdes Kewenangan Desa. Sebagai bagian dari rencana tindak lanjut ini, desa-desa juga akan melakukan audiensi dengan Pemerintah Kabupaten Banyumas untuk membahas tentang Perdes Kewenangan Desa dan mendorong Pemerintah Kabupaten untuk segera mengesahkan peraturan Bupati tentang Kewenangan Desa.

Audiensi dengan Pemerintah Kabupaten rencananya akan dilaksanakan pada awal bulan November 2016, sambil menunggu proses pemetaan dan penyusunan Perdes kewenangan di masing-masing desa selesai. (Yuliati)


Tlaga, Jumat 07/10/16 Desa Tlaga merayakan Tahun Baru Hijriyah dengan menggelar acara Grebeg Sura. Acara yang rutin dilaksanakan tiap tahun baru Islam ini dimulai pukul 13.30 WIB Jumat siang.

Rangkaian acara diawali dari Pawai Ngiring Tumpeng yang mengambil Start dari Grumbul Sumber dan Finish di Balai Pertemuan Dusun Tipar.

Dipimpin oleh Kepala Desa Tlaga Siti Suyatni, barisan Pawai ini mengular sepanjang perjalanan dengan jarak kurang lebih 3 kilometer.

Pawai Budaya Grebeg Sura Desa Tlaga

Arak-arakan sendiri diikuti oleh Perangkat Desa, Grup Kesenian Terbang, Kentongan, Muslimat Nahdlatul Ulama dan Anak-anak Sekolah Dasar serta Anak-anak dari PAUD dan TK Pertiwi Desa Tlaga.

Sampai di tempat acara, rombongan pawai disambut oleh Forkompincam dipimpin oleh Camat Gumelar yang diwakili Sekretaris Camat Sarwoko, S.H. Setelah sambutan dari Camat Gumelar, dilanjutkan dengan ritual Pecah Kendi berisi air putih, sebagai simbol bahwa segala mara bahaya dan persoalan yang dihadapi kelak di tahun baru Hijriah ini akan bisa terpecahkan dan diselesaikan dengan baik.

Begitu Pecah Kendi selesai, warga langsung berlari ke arah tumpeng dan berebut mengambil sayur dan tanaman pertanian yang membentuk seperti tumpeng raksasa. Tumpeng sendiri memiliki arti sebagai kemakmuran yang akan terus dinikmati oleh warga Desa Tlaga. (WN)


Kabar Gumelar

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget