Rakinem memelukku erat sambil terus menangis, sementara di kanan kiriku berkerumun seluruh keluarga dan tetanggaku. Keras otakku berfikir untuk mengingat apa yang sedang berlaku saat ini...
Rakinem adalah wanita yang kukenal lebih dari
setahun yang lalu. Di antara meriahnya pesta Pasar Malam di desaku seorang teman
mengenalkanku pada Rakinem, gadis tetangga desa yang baru pulang dari merantau
di negeri sebrang. Tak ada yang istimewa saat jumpa pertama, mungkin rasa malu dan
tak percaya dirikulah penyebabnya, karena aku hanya pria biasa yang cuma mampu naik
undar, sementara dia sudah dua kali
naik Motor Mabur, pengalaman yang
menurutku menakjubkan.
Waktu berlalu setelah pertemuan di Pasar Malam
itu, tak diduga aku bertemu lagi dengan dia. Saat aku sedang membeli arit di Pasar Pahing, lamat-lamat kudengar
seseorang memanggil namaku. Akupun membalikkan badan mencari darimana suara itu
berasal. Ternyata Rakinem dengan senyum kecil telah berdiri di belakangku, aku tergagap
dan grogi setengah mati. “heih ... lagi nggolet apa mas?,” dia bertanya sambil terus
melepas senyumnya. “eh ..emm.. kie lagi tuku arit nggo pranti ngarit,” jawabku sambil
berusaha menguasai diri. Aku memandang lekat ke wajahnya, wajah putih dengan bedak
tipis membalut rata, sementara rambutnya tersembunyi di balik jilbab merah muda.
Hari demi hari kami mulai menganyam benih-benih
cinta. Tak ingat seperti apa aku mengungkapkan perasaan dulu, mungkin juga tidak
pernah! Namun toh kami sepakat untuk disebut pacaran. Aku sering membantu orang
tuanya untuk sekedar macul, ngarit, atau mewakili kerja bakti membuat saluran irigasi
di sepanjang pinggiran sawah. Aku seolah sudah menjadi menantunya.
Dan dua hari yang lalu tepatnya malam kamis
manis, aku mengajak orang tuaku berkunjung ke rumah Rakinem. Tak lain dan tak bukan
adalah dalam rangka meminangnya untuk dijadikan ibu dari anak anaku kelak. Setelah berbasa basi khas pedesaan, obrolan
pun mengarah ke soal pinangan. Semua berjalan lancar karena memang seluruh keluarga
sudah saling mengenal dan setuju untuk kami naik ke pelaminan. Namun bincang-bincang
seketika terhenti saat memasuki obrolan yang sangat krusial, hening merambat di
ruang tamu berukuran tiga kali empat meter itu. Seekor cicak berbunyi menyela kekosongan
udara!!
Layaknya disambar petir di kemarau panjang. Rakinem
menangis dan berlari ke dalam senthong,
sementara aku terhenyak dengan dada gemuruh, pun dengan punggung yang seolah dikerubut semut rangrang. “Kue jenenge
etungan pisang punggel, dadine ora kena dilakoni, nek dilakoni mengko akibate kue
bisa mbahayani,” orang tua Rakinem menjelaskan.
Aku terduduk di
pematang sawah, sementara tanganku berpegangan pada gagang cangkul. Rasanya
tubuh ini sudah tak bertulang, lemas dan tak bertenaga. Adzan dzuhur yang
berkumandang dari langgar di pojok desa tak kuhiraukan, aku terus bergelut
dengan angan dan wajah ayu pujaan hatiku. Terpikir di otakku untuk membawa
kabur saja dari Desa ini, berdua
ketempat di mana bintang-bintang merestui hubungan kita. Ke tanah di mana tak
ada larangan menikah karena hitungan weton,
hitungan hari dan hitungan taik kebo!!
Seakan mendapat tenaga yang entah
dari mana, akupun bangkit dan meneruskan pekerjaan demi menyambut musim tanam
tahun ini. Satu, dua, tiga aku mulai
mencangkul sawah lagi, dengan semangat yang membara karena setelah ini aku
pastikan untuk membawa kabur Rakinem-ku, dengan uang hasil nyelengi selama setahun aku bertekad untuk mengajaknya Kawin
Lari. Pikiranku terus melayang …dan …crassshh …tiba-tiba mata cangkul membabat
pergelangan kakiku, darah mengalir deras …mataku berkunang-kunang …dan aku tak
ingat apa-apa lagi. (Wizteguh Nugroos)
Posting Komentar
Assalamualaikum min, apakah bisa mengirim tulisan?