Januari 2016

(Kabargumelar). Semakin sadarnya para petani tentang pentingnya memelihara kesuburan tanah, membuat pemakaian pupuk organik semakin meningkat. Selain itu hasil pertanian yang menggunakan pupuk organik juga tentunya lebih sehat untuk dikonsumsi. Inilah latar belakang yang menjadikan seorang mantan buruh migrant ini menciptakan starter atau bioaktivator sebagai bahan dasar pembuatan pupuk organik cair atau biasa disebut POC.

Ristoyo memulai membuat bioaktivator ini sejak tahun 2013 selepas menjadi buruh di pabrik pembuatan laher di Korea Selatan. "Awalnya saya membuat Pupuk Organik Cair dengan bahan dasar atau starter membeli dari luar daerah, kemudian saya pelajari bahan-bahan yang digunakan dan saya coba membuat sendiri," ungkapnya.

Dari mempelajari tentang bagaimana cara membuat dan mengenali bahan-bahan yang digunakan inilah, akhirnya tercipta starter atau Bioaktivator ciptaan Ristoyo. Dari beberapa percobaan pembuatan POC dengan menggunakan starter buatannya, ternyata hasil yang didapat jauh lebih bagus dari starter yang selama ini didatangkan dari luar daerah, sehingga memicu beberapa teman pengolah pupuk organik beralih menggunakan starter buatan Ristoyo.

Menurut pria yang juga piawai meramu obat-obatan herbal ini, dengan adanya bioaktivator buatannya maka para petani sudah benar-benar bisa mandiri dalam mengolah pertaniannya. "Saat ini dari mulai benih sampai pupuk sudah bisa menyediakan sendiri dengan bahan-bahan yang lebih murah karena bisa didapat di sekitar rumah, sehingga bisa menekan biaya produksi sekaligus hasil yang lebih maksimal," tuturnya.

Saat ini beberapa rekan yang rata-rata usia muda mulai mengikuti jejak Ristoyo. Sesekali diadakan pertemuan untuk membahas perkembangan dan kendala yang dihadapi sebagai Petani Organik. Salah satu kendala yang dihadapi adalah tingkat kepercayaan diri para petani yang masih rendah terhadap pengalihan Pupuk Kimia ke Pupuk Organik. Mereka masih mengkhawatirkan penurunan hasil pertanian jika beralih menggunakan Pupuk Organik.

"Memang tidak bisa dihindari,  bahwa pada saat awal peralihan, dari semula memakai Pupuk Kimia kemudian memakai Pupuk Organik, hasil pertanian akan menurun, tapi jangan khawatir untuk kelanjutannya pasti akan meningkat bahkan lebih bagus, dan yang lebih penting lagi adalah kondisi tanah akan kembali subur, tidak keras seperti saat memakai Pupuk Kimia." Tutup pria yang berdomisili di RW 10 Desa Gumelar ini. (WizteguhNugroos)



Beternak ayam broiler adalah pilihan Solikhudin beberapa waktu setelah pulang dari merantau ke negeri Ginseng. Dengan ilmu yang masih pas-pasan soal peternakan, pria yang beralamat di Dusun Padawaras Desa Gumelar ini, jatuh bangun menjalani usahanya.  

Namun dari berbagai persoalan dan permasalahan yang dialami, membuatnya semakin tahu dan mengerti trik dan cara beternak yang baik. Sampai pada satu titik di mana dia berfikir untuk bisa meminimalisir angka kematian dan memaksimalkan hasil panen ayamnya.

"Tahun 2012 saya mulai membuat ramuan jamu untuk ternak saya, karena obat-obatan dari pabrik selain harganya mahal juga kurang baik dari segi daging yang dihasilkan," jelasnya.

Begitulah, dari mulai belajar lewat internet tentang pembuatan jamu untuk ternak, Solikhudin kemudian menambahkan beberapa ide dan bahan-bahan alami lainnya untuk menyempurnakan jamu agar lebih maksimal.

Menurut udin, begitu ia biasa disapa, membuat jamu untuk ternak ini sangat mudah dilakukan karena bahan bahannya sudah pasti tersedia di sekitar kita, Kunyit, Asam Jawa, Melon, Semangka dan lainnya, namun demikian memang butuh waktu dan keuletan. "Kebanyakan orang tidak mau repot untuk membikin jamu sendiri, padahal kalo mau membikin jamu ini bisa dipastikan biaya operasional ternak lebih hemat." ungkapnya

Selain untuk jamu ayam broiler, jamu buatan udin ini juga bisa untuk hewan ternak lainnya seperti kambing dan sapi, fungsinya sama yaitu meningkatkan kekebalan tubuh dan menambah nafsu makan. Dengan nafsu makan yang bertambah secara otomatis akan meningkatkan daging yang dihasilkan, sebagai perbandingan sebelum menggunakan jamu ini, untuk usia 37 hari bobot hidup ayam sekitar 2,2 kg, setelah menggunakan jamu, bobot hidup ayam naik menjadi 2,6 kg dengan usia pemeliharaan yang sama.

"Pada prinsipnya jamu yang saya bikin ini menyeimbangkan antara jumlah ransum atau pakan yang dikonsumsi dengan bobot ayam, selain tentunya menekan angka kematian," tutup mantan Buruh Pabrik Pemanas Ruangan ini. (WizteguhNugroos)



Joglo Tani ( Foto Dok. Wonk Inyong)
(Kabargumelar). Akhirnya bus jemputan yang kami tunggu datang juga, ditutup dengan kalimat terakhir dari Pak T.O Suprapto “Jangan lupa, pulang dari sini buatlah Rencana Tindak Lanjut atau RTL, karena itu lebih penting dari sekedar belajar dan pelatihan, selamat pulang kembali ke Banyumas semoga selamat sampai tujuan”. jelasnya.

Pukul 10. 15 menit bus yang kami tumpangi menyusuri jalan Mandungan 1 Sleman Yogyakarta, tak berapa lama kamipun sampai di tempat yang dituju. Sebuah tempat bernama Joglo Tani, yang konon katanya kerap disebut “Monumen Kebangkitan Petani”. Betul juga saat kami mulai memasuki area Joglo Tani kami disuguhkan pemandangan yang tak biasa soal konsep bertani. Konsep bertani modern bukan pada peralatan yang digunakan tapi pada penerapan dan sistem yang dipakai, benar-benar sebuah pengalaman baru.

Menempati lahan seluas 800 meter persegi di sisi kanan kiri jalan masuk menuju pendopo terdapat kolam kolam ikan yang di atasnya mengapung tanaman padi yang sudah mulai menguning, di setiap kolam berjejer kandang Ayam membentuk huruf U mengitari pinggiran kolam sehingga kotoran Ayam akan langsung masuk ke air sebagai pakan alami ikan. Tak hanya itu, tanaman tanaman sayur dan holtikultura juga ditanam di setiap pematang kolam, sehingga kalo mengutip bahasa dramatisnya “tak ada sejengkalpun” tanah yang tidak difungsikan. 

Seperti dituturkan Suprapto sang inisiator Joglo Tani, bahwa petani di Indonesia belum merdeka mereka kerap menemui tekanan dan ketidakberpihakan pemerintah. Tekanan ekonomi, sosial, alam, budaya dan kebijakan pemerintah, diperparah dengan perjuangan mereka yang cenderung sendiri sendiri, sementara pendirian sebuah kelompok hanya bertahan beberapa waktu saja selebihnya hanya tinggal papan nama. “Contohnya untuk pembelian pupuk saja, petani harus mengikuti alur panjang dari produsen sampai konsumen, boro-boro berfikir hasil, biaya produksi saja sering tidak tertutup”, jelas pria yang pernah menjadi pemain sepak bola Galatama ini. 

Dari situlah konsep bertani mandiri digagas Suprapto. Tidak mudah memang untuk menerapkannya, butuh waktu dan tekad untuk merubah pola pikir dari yang semula mengandalkan segala sesuatu yang cenderung instan menjadi sesuatu yang membutuhkan proses, diawali dari penggunaan pupuk anorganik ke organik, membuat pembibitan sendiri, memanfaatkan lahan yang sempit untuk bisa menghasilkan berbagai macam hasil pertanian dan peternakan, me-multifungsikan lahan semaksimal mungkin dan lain sebagainya. Dan dari ternak dan tanaman yang bevariasi inilah petani bisa mempunyai penghasilan setiap hari, setiap bulan dan setiap tahun sehingga dapat menjaga keberlangsungan pertanian dan dapat menghidupi keluarga. 

Selain itu diterapkan pula sistem pakan ternak dan pupuk organik yang efektif dan efisien, lagi-lagi inipun dijelaskan dengan gamblang oleh Suprapto.“Seperti yang bapak dan ibu lihat, ternak ayam kami ada di atas kolam, sehingga kotoran ayam langsung menjadi pakan ikan, atau ternak itik kami ini, di depan kandang itik ada saluran air yang mengalir ke sawah yang otomatis akan membawa nutrisi dari kotoran itik langsung menjadi pupuk organik untuk padi”, tuturnya 

Sebenarnya masih banyak yang ingin kami pelajari, namun waktu tergesa memotong rasa ingin tahu kami, acarapun segera selesai. Kami berkemas untuk pulang ke Banyumas, menunggu bus jemputan yang tak kunjung nampak batang bempernya.... (WizteguhNugroos) 


Rakinem memelukku erat sambil terus menangis, sementara di kanan kiriku berkerumun seluruh keluarga dan tetanggaku. Keras otakku berfikir untuk mengingat apa yang sedang berlaku saat ini...

Rakinem adalah wanita yang kukenal lebih dari setahun yang lalu. Di antara meriahnya pesta Pasar Malam di desaku seorang teman mengenalkanku pada Rakinem, gadis tetangga desa yang baru pulang dari merantau di negeri sebrang. Tak ada yang istimewa saat jumpa pertama, mungkin rasa malu dan tak percaya dirikulah penyebabnya, karena aku hanya pria biasa yang cuma mampu naik undar, sementara dia sudah dua kali naik Motor Mabur, pengalaman yang menurutku menakjubkan.

Waktu berlalu setelah pertemuan di Pasar Malam itu, tak diduga aku bertemu lagi dengan dia. Saat aku sedang membeli arit di Pasar Pahing, lamat-lamat kudengar seseorang memanggil namaku. Akupun membalikkan badan mencari darimana suara itu berasal. Ternyata Rakinem dengan senyum kecil telah berdiri di belakangku, aku tergagap dan grogi setengah mati. “heih ... lagi nggolet apa mas?,” dia bertanya sambil terus melepas senyumnya. “eh ..emm.. kie lagi tuku arit nggo pranti ngarit,” jawabku sambil berusaha menguasai diri. Aku memandang lekat ke wajahnya, wajah putih dengan bedak tipis membalut rata, sementara rambutnya tersembunyi di balik jilbab merah muda.

Hari demi hari kami mulai menganyam benih-benih cinta. Tak ingat seperti apa aku mengungkapkan perasaan dulu, mungkin juga tidak pernah! Namun toh kami sepakat untuk disebut pacaran. Aku sering membantu orang tuanya untuk sekedar macul, ngarit, atau mewakili kerja bakti membuat saluran irigasi di sepanjang pinggiran sawah. Aku seolah sudah menjadi menantunya.

Dan dua hari yang lalu tepatnya malam kamis manis, aku mengajak orang tuaku berkunjung ke rumah Rakinem. Tak lain dan tak bukan adalah dalam rangka meminangnya untuk dijadikan ibu dari anak anaku kelak. Setelah berbasa basi khas pedesaan, obrolan pun mengarah ke soal pinangan. Semua berjalan lancar karena memang seluruh keluarga sudah saling mengenal dan setuju untuk kami naik ke pelaminan. Namun bincang-bincang seketika terhenti saat memasuki obrolan yang sangat krusial, hening merambat di ruang tamu berukuran tiga kali empat meter itu. Seekor cicak berbunyi menyela kekosongan udara!!

Layaknya disambar petir di kemarau panjang. Rakinem menangis dan berlari ke dalam senthong, sementara aku terhenyak dengan dada gemuruh, pun dengan punggung  yang seolah dikerubut semut rangrang. “Kue jenenge etungan pisang punggel, dadine ora kena dilakoni, nek dilakoni mengko akibate kue bisa mbahayani,orang tua Rakinem menjelaskan.

Aku terduduk di pematang sawah, sementara tanganku berpegangan pada gagang cangkul. Rasanya tubuh ini sudah tak bertulang, lemas dan tak bertenaga. Adzan dzuhur yang berkumandang dari langgar di pojok desa tak kuhiraukan, aku terus bergelut dengan angan dan wajah ayu pujaan hatiku. Terpikir di otakku untuk membawa kabur saja  dari Desa ini, berdua ketempat di mana bintang-bintang merestui hubungan kita. Ke tanah di mana tak ada larangan menikah karena hitungan weton, hitungan hari dan hitungan taik kebo!!

Seakan mendapat tenaga yang entah dari mana, akupun bangkit dan meneruskan pekerjaan demi menyambut musim tanam tahun ini.  Satu, dua, tiga aku mulai mencangkul sawah lagi, dengan semangat yang membara karena setelah ini aku pastikan untuk membawa kabur Rakinem-ku, dengan uang hasil nyelengi selama setahun aku bertekad untuk mengajaknya Kawin Lari. Pikiranku terus melayang …dan …crassshh …tiba-tiba mata cangkul membabat pergelangan kakiku, darah mengalir deras …mataku berkunang-kunang …dan aku tak ingat apa-apa lagi. (Wizteguh Nugroos)

''KESAMAAN NAMA DAN CERITA SAMA SEKALI TIDAK DISENGAJA''





(Kabargumelar). Maxima Paksi Jaya adalah satu-satunya Kelompok Usaha pengrajin sangkar burung yang ada di wilayah Kecamatan Gumelar. Dikomandoi oleh Bili Ratmono, Kelompok Usaha ini sekarang menjadi ikon Desa Samudra, setelah di masa lalu Desa yang berbatasan dengan Kabupaten Brebes ini Kondang sebagai penghasil Cengkeh di Kabupaten Banyumas.

Berawal dari ngumpul bareng sesama pecinta burung, pria yang bertempat tinggal di RT 3 RW 6 Dusun Renggong ini menginisiasi pembuatan sangkar burung untuk kebutuhan komunitas pecinta burung. Gayung bersambut beberapa pemuda ikut merealisasikan rencana Bili, sehingga kemudian rencana ini menjadi sebuah keinginan bersama.

Dikisahkan oleh Bili, bagaimana pasang surut usaha yang dirintisnya ini dianggap sebagai sebuah dinamika dan proses pembelajaran. "Di tahun yang kedua ini, kami masih terus belajar, bagaimana agar bisa terus bersaing dan punya nilai tawar yang lebih tinggi." ungkapnya.

Keunggulan dari sangkar burung yang dibuat oleh kelompok ini adalah desain pembuatan yang rapi dan tetap mengutamakan kualitas, sehingga pasar semakin mempercayai produk mereka. Maka tak heran jika para pembeli dan pemesan tidak hanya dari wilayah Kecamatan Gumelar, tapi juga berasal dari berbagai  kota seperti  Jakarta, Purwokerto, Bumiayu, Wangon bahkan ada yang dari Kalimantan dan Surabaya.

Untuk harga jualnya sendiri sangat bervariasi, tergantung tingkat kesulitan dan desainnya. "Harga kisaran dari 75 ribu sampai 150 ribu untuk sangkar biasa, kemudian untuk harga 175 ribu kami menyebutnya kelas ekseklusif karena desain dan tingkat kesulitannya cukup tinggi dan biasanya untuk sangkar burung tertentu." jelas Bili

Diceritakan oleh Bili, selain membuat sangkar burung, kelompok Maxima Paksi Jaya ini juga mulai mencoba budi daya pakan burung. Jangkrik dan ulat Jerman menjadi pilihan yang tepat dalam rangka mengantisipasi kelangkaan pakan yang sering terjadi dan menimpa para penghobi burung, sehingga terciptalah adanya swasembada pakan. "Nantinya tidak ada lagi harga pakan yang melambung, terkadang malah harganya mahal tapi barangnya tidak ada, itu tujuannya kenapa kami juga memulai budi daya pakan burung ini." tutupnya.(WizteguhNugroos)






Kabar Gumelar

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget