“Dinda, hari ini aku mau masuk ke hutan, mengejar para pengacau yang mencoba mengganggu negara kita, mungkin untuk beberapa hari kita tak bisa berkomunikasi, doakan aku agar bisa menuanaikan tugasku dengan baik yah?,” ucap Tomi di ujung telpon.
Pertama berkenalan dengan Tomi adalah peristiwa yang tidak terlalu istimewa menurutku. Tamtama berpangkat Prada dengan tahi lalat di bawah bibir, “manis juga” kataku dalam hati, datang ke tempat kost bersama pacar temanku. Akupun tak terlalu memperhatikan, sampai akhirnya beberapa kali bertemu kita mulai saling tertarik, dan sepakat untuk berpacaran.
“Bagaimana hari ini kuliahnya? Kuliah yang bener yah, jangan kecewakan orang tua kamu, jadilah lulusan terbaik agar bisa menggapai cita-cita, bukankah cita-cita kamu adalah diperistri olehku? Haha ..,” Tomi masih nyerocos menggoda aku.
Inilah yang membuat aku kadang kesel, tapi juga yang membuat aku selalu rindu sama tomi, joke joke-nya yang selalu mengundang gelak tawa, gaya bicara ceplas ceplos dan perilaku konyolnya saat tak mengenakan seragam kebanggaannya.
“Oke dinda, setelah tugas ini selesai, aku akan ambil cuti dan pulang ke Jawa, aku kangen banget sama kamu, kangen sama ibu, bapak, dan sama cubitanmu yang sakitnya minta ampun..,” masih saja Tomi menggoda aku.
Dan ini adalah bulan ke tiga sejak terakhir Tomi berpamitan untuk menunaikan tugas negara. Aku mencoba menghubungi Handphone-nya namun tak pernah aktif. Aku menghubungi teman-temanya sesama korps, dan mereka menjawab bahwa tugas Tomi belum selesai dan masih di dalam hutan memberantas gerakan separatis.
Rasa cemas dan khawatir menyergap hari-hariku, menggerus ketabahanku, pun dengan seluruh keluarga besarku yang larut dalam penantianku. Bayangan-bayangan buruk selalu melintas di pikiranku, aku takut...takut sekali. Tangiskupun membuncah manakala mendengar kabar itu, semua orang mencoba menenangkanku, berusaha menghiburku dengan kalimat-kalimat yang hanya lamat-lamat terdengar di telingaku.
Kanker stadium empat! Itulah kabar yang aku terima dari dokter yang memeriksaku kemarin. Setelah beberapa kali observasi dan pemeriksaan, kesimpulan itulah yang memaksa rasa putus asa-ku berlipat-lipat kadarnya, ketegaran jiwaku seketika runtuh. Usiaku hanya tinggal beberapa bulan lagi, sementara Tomi belum tau keadaan ini.
Air mataku kembali menetes, sedih yang tak berujung terasa mengisi hari-hariku di ruang perawatan Rumah Sakit. Keluarga, teman, sahabat, dosen silih berganti menjengukku, dan Tomi tak jua mengunjungiku.
“Tomi apa kabarmu sayang? semoga kamu sedang baik-baik saja di sana, beberapa kali aku mencoba menghubungi kamu namun tak pernah bisa. Maafkan dinda yah, dinda tidak bisa menggapai cita-cita dinda, menjadi istri buat Tomi, menjadi pasangan hidup Tomi, usia Dinda hanya tinggal beberapa bulan lagi. Tau ngga? Kata dosen dinda, nilai kuliah dinda bagus lho.. dan bisa jadi lulusan terbaik nantinya, itu kan syaratnya.. biar dinda bisa jadi istri Tomi?”. (Wizteguh Nugroos)
Posting Komentar
sosweetttt........hahahha...
ahha makasih apresiasinya